Sabtu, 27 Agustus 2011

HAKIKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA


HakikatManusia
Tuhan menciptakan. mahluk yang mengisi dunia fana ini atas berbagai jenis dan tingkatkan. Dari berbagai jenis dan tingkat mahluk Tuhan tersebut manusia adalah mahluk yang paling mulia dan memi¬liki berbagai kelebihan.
Keberadaan manusia apabila dibandingkan dengan mahluk lain (hewan), selain memiliki insting sebagaimana yang dimiliki hewan, manusia adalah mahluk yang memiliki beberapa kemampuan antara berfikir, rasa keindahan, perasaan batiniah, harapan, menciptakan dan lain lain.
Sedangkan kemampuan hewan lebih bersifat instingtif dan kemampuan berfikir sangat rendah untuk mencari makan, mempertahankan diri dan mempertahankan kelangsungan hidup jenisnya.
Pada hakikatnya hewan tidak menyadari tugas hidupnya, dan ia melakukan sesuatu atas dorongan dari dalam jiwanya. Dorongan itu merupakan perintah baginya yang harus dilaksanakan apabila ia menemui rintangan dari luar, misalnya dihalang-halangi oleh manusia atau hewan lain, dengan bermacam-macam usaha barulah ia melawan instingnya.
Lain halnya manusia, selain mahluk instingtif manusia juga mampu berfikir (homo sapiens) mampu mengubah dan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan rasa keindahan dan kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu manusia adalah mahluk moral dan religius.
Dari penjelasan tentang perbedaan manusia dan hewan diatas, kemudian timbul pertanyaan , ”apakah manusia itu ?”.
Beberapa pandangan tentang hakikat manusia disebutkan secara singkat sebagai berikut:

Pandangan psikoanalitik
Tokoh psikoanalitik (Hansen, Stefic, Wanner, 1977) menyatakan bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Tingkah laku seseorang ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sudah ada pada diri seseorang, tidak ditentukan oleh nasibnya tetapi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan insting biologisnya.
Sigmund Freud mengemukakan bahwa struktur kepribadian seseorang terdiri dari tiga komponen yakni: ide, ego dan super ego. Masing-masing komponen tersebut merupakan berbagai insting kebutuhan manusia yang mendasari perkembangan individu.
Dua insting yang paling penting adalah insting seksual dan insting agresi yang menggerakkan manusia untuk hidup dengan prinsip pemuasan diri. Dengan demikian fungsi ide adalah mendorong manusia untuk memuaskan kebutuhannya setiap saat sepanjang hayat tetapi fungsi ide untuk menggerakkan tersebut ternyata tidak dapat leluasa menjalankan fungsinya karena menghadapi lingkungan yang tidak dapat diterobos begitu saja. Banyak pertimbangan yang harus diperhatikan yang tidak dapat dilanggar begitu saja.
Lain halnya dengan ide maka fungsi ego adalah menjembatani tuntutan ide dengan realitas dunia luar. Dia mengatur dan mengarahkan pemenuhan ide dalam memuaskan instingnya selalu mempertimbangkan lingkungannya. Dengan demikian ego lebih berfungsi kepribadian, sehingga perwujudan fungsi ide itu menjadi tidak tanpa arah.
Dalam perkembangan lebih lanjut, tingkah laku seeseorang tidak hanya ditentukan oleh fungsi ide dan ego saja, melainkan juga fungsi yang ketiga yakni super ego.
Super ego tumbuh berkat interaksi antara individu dan lingkungannya yang terdiri dari aturan, nilai, moral, adat istiadat, tradisi , dsb. Dalam hal ini fungsi super ego adalah mengawasi agar tingkah laku seseorang sesuai dengan aturan, nilai, moral, adat istiadat, yang telah meresap pada diri seseorang. Dengan demikian super ego memiliki fungsi control dari dalam diri individu.
Demikianlah bahwa kepribadian seseorang berpusat pada interkasi antara ide, ego dan super ego menduduki peranan perantara antara ide dengan lingkungan dan antara ego dengan super ego. Sedangkan peranan ego dalam menjembatani ide dengan super ego dapat dilihat dalam kaitannya dengan kecenderungan seseorang untuk berada pada dua ekstrem.
Seseorang yang didominasi idenya tingkah lakunya impulsive, dan seseorang yang didominasi super egonya cenderung berperilaku moralistik.
Dari pandangan yang tradisional di atas berkembanglah paham baru yang disebut neoanalitik. Paham ini berpendapat bahwa manusia tidak seperti binatang yang digerakkan oleh tenaga dalam (innate energy). Tingkah laku manusia itu banyak yang terlepas dan tidak dapat disangkutkan dari dalam. Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menanggapi berbagai jenis perangsang dan perwujudan diri itu hanya sebagian saja yang dapat dianggap sebagai hasil tenagan dalam. Pada masa bayi, manusia memang menanggapi dunia dengan insting-instingnya untuk memenuhi kebutuhannya misalnya lapar,. Namun, tingkah laku instingtif tersbut makin dewasa makin berkurang dan akhirnya sebagian besar tingkah laku tersebut didasarkan pada rangsangan dari lingkungannya.
Kaum neoanalis pada dasarnya masih meyakini adanya komponen ide, ego dan super ego, namun lebih menekankan pentingnya ego sebagai pusat kepribadian individu. Ego tidak dipandang sebagai fungsi pengarah perwujudan ide saja, melainkan sebagai fungsi pokok yang bersifat rasional dan tanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial individu.


Pandangan Humanistik
Pandangan humanistic (Hansen, dkk, 1977) menolak pandangan freud bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki control terhadap nasibnya sendiri. Tokoh humanis (Rogers) berpendapat bahwa manusia itu memiliki dorongan untuk menyerahkan dirinya sendiri ke arah positif, manusia itu rasional, tersosialisasikan dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Ini berarti bahwa manusia mampu mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri sendiri. Jika manusia dalam keadaan yang memungkinkan dan mempunyai kesempatan untuk berkembang maka akan mengarahkan dirinya untuk menjadi pribadi yang maju dan positif, terbebas dari kecemasan dan menjadi anggota masyarakat yang bertingkah laku secara memuaskan. Lebih lanjut Rogers mengemukakan bahwa pribadi manusia sebagai aliran atau arus yang terus mengalir tanpa henti, tidak statis, dan satu kesatuan potensi yang terus-menerus berubah.
Pandangan Adler (1954) bahwa manusia tidak semata-mata digerakkan oleh dorongan untuk memuaskan dirinya sendiri, namun digerakkan oleh rasa tanggung jawab social serta oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu. Lebih dari itu bahwa “individu melibatkan dirinya dalam bentuk usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri dalam membantu orang lain dan membuat dunia menjadi lebih baik untuk ditempati”.




Pandangan Martin Buber

Martin Buber (1961) tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa manusia berdosa dan dalam genggaman dosa. Buber berpendapat bahwa manusia tidak dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ini atau itu. Manusia merupakan suatu keberadaan (eksistensi) yang berpotensi. Namun, dihadapkan pada kesemestaan atau potensi manusia itu terbatas. Keterbatasan ini bukanlah keterbatasan yang mendasar (esensial), tetapi keterbatasan factual semata-mata. Ini berarti bahwa yang akan dilakukan oleh manusia atau perkembanagn manusia itu tidak dapat diramalkan dan manusia masih menjadi pusat ketakterdugaan (surprise) dunia. Tetapi perlu diingat, ketakterdugaan ini merupakan ketakterdugaan yang terkekang dan kekangan ini amat kuat. Manusia itu tidak pada dasarnya baik, atau jahat, tetapi manusia itu dengan amat kuat mengandung kedua kemungkinan ini. Justru inilah keterbatasan manusia, yaitu adanya kemungkinan untuk menjadi jahat. Perlu juga diingat bahwa ketetbatasan ini sifatnya hanya faktual belaka, tidak mendasar. Kejahatan yang ada pada diri manusia (dilambangkan dengan perbuatan Adam memakan buah larangan di surga) bukanlah keingkaran pada Tuhan, melainkan semata-mata untuk mewujudkan kemanusiaan manusia oleh manusia itu sendiri. Manusia adalah mahluk yang cerdik yang tidak merasa puas dalam keadaan yang aman, tentram, bahagia dan tergoda untuk melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Namun anehnya, setelah aturan “dilanggar” terkuaklah sejarah kemanusiaan yang sejati melalui berbagai ketidak pastian, perjuangan dan kegagalan. Sejarah kemanusiaan ini sejalan dengan aturan Tuhan.


Pandangan Behaviouristik
Kaum behavioristik (dalam Hansen, dkk, 1977) pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh factor-faktor yang datang dari luar. Lingkungan adalah penentu tunggal dari tingkah laku manusia. Dengan demikian kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya, hubungan itu diatur oleh hukum-hukum belajar, seperti teopri pembiasaan (conditioning) dan peniruan.
Manusia tidak datang ke dunia ini dengan membawa ciri-ciri yang pada dasarnya baik dan jelek, tetapi netral. Hal-hal yang mempengaruhi kepribadian individu semata-mata tergantung pada lingkungannya. Tingkah laku adalah hasil perkembanagan individu dan sumber dari hasil ini tidak lain adalah lingkungan.
Pandangan behavioristik sering dikritik sebagai pandangan yang merendahkan derajat manusia (dehumanisasi) karena pandangan ini mengingkari adanya ciri-ciri penting yang ada pada manusia dan yang tidak ada pada ciri-ciri mesin atau binatang, seperti kemampuan memilih, menetapkan tujuan, mencipta. Dalam menanggapi kritik ini Skinner (1976) mengatakan bahwa kemampuan-kemampuan itu sebenarnya terwujud sebagai tingkah laku juga yang berkembangnya tidak berbeda dari tingkah laku lainnya. Justru tingkah laku inilah yang dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah. Semua ciri yang dimiliki oleh manusia harus dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah. Dibandingkan dengan binatang mungkin manusia adalah binatang yang sangat unik, binatang yang bermoral , namun manusia tidak dapat dikatakan memiliki moralitas. Yang disebut sebagai moral itupun mewujudkan dalam tingkah laku sebagai hasil belajar berkat pengaruh lingkungan. Pendekatan behavioristik tidaklah mendehumanisasikam manusia, melainkan justru memanusiakan manusia, yaitu mengatasi kekerdilan manusia. Hanya dalam hubungannya dengan lingkungan yang didekati secara ilmiahlah kekerdilan manusia dapat diatasi dan harkat manusia dipertinggi.
Setelah mengikuti beberapa pandangan tentang manusia tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa pengertian bahwa: (1) Manusia pada dasarnya memiliki “tenaga dalam” yang menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya; (2) Dalam diri manusia (individu) ada fungsi yang bersifat rasional dan bertanggung jawab atas tingkah laku sosial dan rasional individu; (3) Manusia mampu mengarahkan dirinya ke tujuan positif, mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan “nasibnya” sendiri; (4) Manusia pada hakikatnya dalam proses “menjadi”, berkembang terus tidak pernah selesai, (5) dalam hidupnya individu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain, dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati; (6) Manusia merupakan suatu keberadaaan berpotensi yang perwujudannya merupakan ketakterdugaan, namun potensi ini terbatas; (7) Manusia adalah mahluk Tuhan yang mengandung kemungkinan baik dan jahat; dan (8) Lingkungan adalah penentu tingkah laku manusia dan tingkah laku ini merupakan wujud kepribadian manusia.
Pandangan yang meyeluruh tentang manusia seyogyanya tidak hanya menekankan salah satu atau beberapa aspek saja dan ciri ciri hakikat tersebut di atas. Di Indonesia dikenal pengertian manusia seutuhnya. Menurut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Setiap manusia mempunyai keinginan untuk mempetahankan hidup dan menjaga kehidupan yang lebih baik. Ini merupakan naluri yang paling kuat dalam diri manusia. Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia memberikan pedoman bahwa kebahagian hidup manusia akan tercapai apabila manusia itu didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam.
Pancasila menempatkan manusia dalam keseluruhan harkat dan martabatnya yang Tuhan Yang Maha Esa, manusia menjadi titik tolak dari usaha kita untuk memahami manusia itu sendiri, manusia dan masyarakatnya, dan manusia dengan segenap lingkungan hidupnya. Adapun manusia yang kita pahami bukanlah yang luar biasa, melainkan manusia yang memiliki kekuatan juga manusia yang dilekati dengan kelemahan-kelemahan, manusia yang di samping memiliki kemampuan kemampuan juga mempunyai sifat-sifat keterbatasan keterbatasan manusia yang disamping mempunyai sifat-sifat yang kurang baik manusia yang hendak kita pahami bukanlah manusia kita tempatkan di luar batas kemampuan dan kelayakan manusiawi tadi.
Manusia sebagai mahluk Tuhan adalah makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Sifat kodrati manusia sebagai individu dan sekaligus sebagai mahluk sosial yang merupakan kesatuan buIat perlu dikembangkan secara seimbang, selaras dan serasi. Perlu disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Manusia hanya mempunyai arti dalam hidup secara layak diantara manusia lainnya. Tanpa ada manusia lainnya atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik. Dalam mempertahankan hidup dan usaha mengejar kehidupan yang lebih bank, mustahillah hal itu di kerjakan sendiri oleh seseorang tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam masyarakat.
Kekuatan manusia pada hakekatnya tidak terletak pada kemampuan fisiknya atau kemampuan jiwanya semata-mata melainkan terletak pada kemampuannya untuk bekerjasama dengan manusia lainnya. Dengan manusia lainnya dengan masyarakat itulah manusia menciptakan kebudayaan , yang pada hakekatnya membedakan manusia dari segenap mahluk hidup lainnya, yang mengantarkan manusia pada tingkat mutu, martabat dan harkatnya sebagaimana manusia yang hidup pada masa sekarang dan zaman yang akan datang.
Kesadaran akan hal-hal tersebut di atas selanjutnya menimbuhkan kesadaran bahwa setiap manusia terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang baik untuk orang lain dan masyarakatnya. Semuanya itu melahirkan sikap dasar bahwa untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam hubungan soaial antara manusia pribadi dengan masyarakatnya , manusia perlu mengendalikan diri dari kepentingan merupakan suatu sikap yang mempunyai arti sangat penting dan merupakan sesuatu yang diharapkan, yang pada gilirannya akan menumbuhkan keseimbangan dan stabilitas masyarakat

Tidak ada komentar: