I. JUDUL PERCOBAAN
“ Pemisahan Metodik Interferensi Fe (III) Pada Penentuan Tembaga (Cu)”.
II. TUJUAN PERCOBAAN
Mencegah gangguan interferensi Fe (III) pada penentuan tembaga (II) pada titrasi iodometri.
III. LANDASAN TEORI
Suatu analisis dimulai sejak pengambilan sampel, perlakuan sampel atau mengubah analit ke dalam bentuk yang sesui dengan pengukuran sampel itu sendiri, sampai melakukan evaluasi kebenaran analisis. Sebelum pengukuran fisik atau kimia dapat dilakukan untuk menentukan banyaknya analit di dalam larutan sampel, biasanya perlu untuk memecahkan persoalan interferensi ( Tim Dosen Kimia Analitik, 2010 : 1-2 ).
Penentuan kadar ion tembaga dalam suatu sampel dengan menambahkan kalium iodida dan menitrasi iodium yang bebas dengan natrium tiosulfat. Jika larutan juga mengandung ion besi (III), maka ion ini akan mengganggu karena ia juga akan mengoksidasi ion iodide menjadi iodium. Interferensi ini dapat dicegah dengan menggunakan besi (III) menjadi kompleks stabil (Tim Dosen Kimia Analitik, 2010 : 2).
Larutan iod standar dapat disiapkan dengaccn menimbang langsung iod murni dan melarutkannya serta mengencerkan dalam sebuah labu volumetri. Iod itu dimurnikan dengan sublimasi dan ditambahkan ke dalam larutan KI pekat, yang ditimbang dengan tepat sebelum maupun sesudah penambahan iod. Tetapi biasanya larutan itu distandarkan terhadap standar primer, yang paling lazim digunakan adalah As2O3. Daya mereduksi HAsO3 bergantung pada pH, seperti tampak dalam persamaan berikut :
HAsO3 + I2 + 2 H2O H3AsO4 + 2 H+ + 2 I-
Reaksi belum lengkap pada titik kesetaraan. Tetapi jika konsentrasi ion hydrogen diturunkan, reaksi ini dipaksa berjalan ke kanan dan dapat dibuat cukup lengkap agar cocok untuk titrasi ( Underwood, 1986 : 301 ).
Kalium iodida mengendapkan tembaga (I) iodide yang putih, tetapi larutannya berwarna coklat tua karena terbentuknya ion – ion triodida (iod) : 2 Cu2+ + 5 I- 2 CuI + I3-
Dengan menambahkan natrium tiosulfat berlebihan kepada larutan, ion triodida tereduksi menjadi ion iodida yang tak berwarna, dan warna putih dari endapan yang terlihat. Reduksi dengan tiosulfat menghasilkan ion tetrationat :
I3- + 2 S2O32- 3 I- + S4O62-
Reaksi ini dipakai dalam analisis kuantitatif untuk penentuan tembaga secara ioodometri (Voogel, 1986 : 231).
Banyak zat pengoksida kuat dapat dianalisis dengan menambahkan kalium iodide berlebihan dan menitrasi iod yang dibebaskan. Karena banyak zat pengoksida yang menuntut larutan asam untuk bereaksi dengan iodide, natrium tiosulfat lazim digunakan sebagai titran. Beberapa tindakan pencegahan perlu diambil dalam menangani larutan kalium iodide untuk menghindari galat. Misalnya, ion iodide dioksidasi oleh oksigen dari udara :
4 H+ + 4 I- + O2 2 I2 + 2 H2O
Reaksi ini lambat dalam larutan netral, namun lebih cepat dalam asam dan dipercepat oleh cahaya matahari (Underwood, 1986 : 303).
Cara lain standarisasi adalah dengan Na2S2O3.H2O. Larutan tiosulfat distandarisasi terlebih dahulu terhadap K2Cr2O7. Reaksinya yaitu :
Cr2O72- + 14 H+ + 6 I- 3 I2 + 2 Cr3+ + 7 H2O
Biasanya yang digunakan adalah kanji/amilum. Iodide pada konsentrasi
< 10-5 M dapat dengan mudah ditekan oleh amilum. Kompleks iodium-amilum mempunyai kelarutan yang kecil dalam air sehingga biasanya ditambahkan pada titik akhir titrasi. Jika larutan iodium didalam KI pada suasana netral maupun asam dititrasi maka :
I3- + 2 S2O32- 3 I- + S4O62-
Kelebihan KI bereaksi dengan Cu (II) untuk membentuk CuI dan melepaskan sejumlah ekivalen I2.
2 Cu2+ + 4 I- 2 CuI + I2 ; 2 Cu2+ + 3 I- 2 CuI + I3-
(Khopkar, 1990 : 59).
Larutan standar yang dipergunakan dalam kebanyakan proses iodometrik adalah natrium tiosulfat. Larutan tidak boleh distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi terhadap standar primer. Larutan natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama. Sejumlah zat padat digunakan sebagai standar primer untuk larutan natrium tiosulfat. Iodium murni merupakan standar paling nyata, tetapi jarang digunakan karena kesukaran dalam penanganan dan penimbangan. Lebih sering menggunakan pereaksi yang kuat yang membebaskan iodium dari iodide, suatu proses iodometrik ( Anonim, 2010).
I2 murni atau dimurnikan dengan jalan sublimasi. BE cukup tinggi (126,9). Iod mudah menguap, maka bahan ini harus ditimbang dalam botol tertutup. Kesulitan penanganan iod membuatnya tidak praktis sebagai bbp. Sedangkan KIO3, kemurniannya baik, tetapi BE agak terlalu rendah (35,67) (Harjadi, 1990 : 215).
IV. ALAT DAN BAHAN
A. Alat
1. Pipet volume 25 mL 1 buah
2. Pipet tetes
3. Gelas ukur 10 mL dan 25 Ml @ 1 buah
4. Botol semprot 1 buah
5. Buret 50 mL 2 buah
6. Statif dan klem @ 2 buah
7. Batang pengaduk
8. Bulp pipet 1 buah
9. Labu Erlenmeyer 250 mL 6 buah
10. Neraca analitik
11. Corong biasa 1 buah
12. Labu takar 1000 mL 1 buah
13. Gelas kimia 50 mL dan 250 mL
B. Bahan
1. Larutan Na2S2O3 0,1 N
2. Larutan HCl 2N
3. Larutan KI 0,1 M dan 1 M
4. KF 0,5 M
5. Larutan sampel A dan B
6. Amilum
7. Aquades
8. Tissue
9. Aluminium foil
10. Kristal KIO3
V. PROSEDUR KERJA
1. Menyediakan larutan KIO3 0,1 N dengan menimbang 0,8918 g KIO3 dan melarutkan dalam labu takar 250 mL dengan aquades sampai tanda batas.
2. Mengambil 25 mL larutan standar primer KIO3 0,1 N, Menambahkan 5 mL KI 0,1 N kemudian menambahkan 10 mL HCL 2N. Titrasi segera dijalankan setelah penambahan HCL ini.
3. Menitrasi iod yang bebas dalam larutan iodat ini dengan Na2S2O3 yang akan distandarisasi sampai warna berubah dari merah bata menjadi kuning pucat.
4. Menambahkan 2 mL amilum dan melanjutkan titrasi sampai warna biru hilang.
5. Menghitung normalitas Na2S2O3 yang sebenarnya.
6. Mengambil 25 mL larutan sampel A dan B, kemudian masing-masing ditambahkan 10 mL KI 0,1 N.
7. Menitrasi iod yang bebas dalam larutan A dan B dengan Na2S2O3 yang telah distandarisasi. Menggunakan indikator amilum dan menghentikan titrasi bila warna biru hilang. Mencatat volume titran.
8. Mengambil 25 mL larutan B. Sebelum menambahkan 10 mL KI 0,1 N, terlebih dahulu menambahkan 25 mL KF 0,5 N untuk mengubah Fe (III) menjadi kompleks stabil.
9. Menitrasi iod yang bebas dengan tiosulfat dan menggunakan indikator amilum.
10. Mengulangi cara kerja (6), (7), (8), dan (9) hingga tiga kali dan mencatat volume titran.
VI. HASIL PENGAMATAN
A. Standarisasi Na2S2O3 0,1 N
25 mL KIO3 + 5 mL KI 1 N bening + 10 mL HCl 2 N O merah kecoklatan dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N O kuning pucat + amilum O berwarna biru dititrasi lagi O bening
Titrasi Ke- | Volume (mL) |
I | 25,80 |
II | 25,20 |
B. Titrasi Larutan A dan B
Larutan | Volume larutan Na2S2O3 (mL) | ||
A | 8,78 | 8,60 | 8,80 |
B | 25,60 | 25,90 | 25,60 |
B+ KF | 7,00 | 8,10 | 7,40 |
1. Sampel A
Sampel A 25 mL (biru muda) + 10 mL KI 0,1 N larutan berwarna kuning keruh dititrasi kuning pucat + amilum larutan berwana biru dititrasi larutan berwarna putih susu.
2. Sampel B
Sampel B 25 mL (kuning muda) + 10 mLKI 0,1 N larutan kuning tua dititrasi larutan hijau + amilum (bening) larutan berwarna biru dititrasi larutan berwarna putih susu.
3. Sampel B + KF
Sampel B 25 mL (kuning muda) + 25 mL KF 0,5 N biru + 10 mL KI 0,1 N hijau keruh dititrasi keruh + amilum (bening) biru dititrasi larutan berwarna putih susu.
VII. ANALISIS DATA
1. Standarisasi Na2S2O3
Diketahui: N KIO3 = 0,1 N
V KIO3 = 25 mL
V1 Na2S2O3 = 25,80 mL
V2 Na2S2O3 = 25,20 mL
Ditanya: N Na2S2O3 = …..?
Penyelesaian:
2. Menentukan kadar ion Cu
a. Sampel A
Diketahui: N Na2S2O3 = 0,098 N = 0,098 mgrek/mL
BM Cu = 63,5 mg/mgrek
V1 Na2S2O3 = 8,78 mL
V2 Na2S2O3 = 8,60 mL
V3 Na2S2O3 = 8,80 mL
Ditanyakan: Kadar Cu = ……..?
Penyelesaian:
= 2,1731
b. Sampel B
Diketahui: N Na2S2O3 = 0,098 N = 0,098 mgrek/mL
BM Cu = 63,5 mg/mgrek
V sampel B = 25 mL
V1 Na2S2O3 = 25,60 mL
V2 Na2S2O3 = 25,90 mL
V3 Na2S2O3 = 25,60 mL
Ditanyakan: Kadar Cu =……?
Penyelesaian:
c. Sampel B+KF
Diketahui: N Na2S2O3 = 0,098 N = 0,098 mgrek/mL
BM Cu = 63,5 mg/mgrek
V1 Na2S2O3 = 7,00 mL
V2 Na2S2O3 = 8,10 mL
V3 Na2S2O3 = 7,40 mL
Ditanyakan: Kadar Cu = ……..?
Penyelesaian:
VIII. PEMBAHASAN
A. Standarisasi Larutan Standar Na2S2O3
Standarisasi adalah proses penentuan konsentrasi suatu larutan dengan akura. Standarisasi dilakukan untuk menetapkan konsentrasi larutan standar sekunder dengan menitrasinya dengan larutan standar primer yang memiliki larutan standar primer yang memiliki konsentrasi stabil dan kemurnian tinggi.
Pada percobaan larutan Na2S2O3 distandarisasi dengan menggunakan larutan KIO3 yang merupakan larutan standar primer. Konsentrasi Na2S2O3 perlu ditentukan karena larutan natrium tiosulfat sebagai larutan standar sekunder tidak stabil, dimana pada setiap penyimpanan, konsentrasinya dapat berubah. Oleh karena itu, larutan natrium tiosulfat distandarisasi dengan larutan standar primer kalium iodat yang memiliki konsentrasi stabil dalam penyimpanan.
Larutan kalium iodat ditambahkan dengan KI dan HCl. Pada percobaan ini KI berfungsi untuk membebaskan ion I- yang nantinya akan dioksidasi oleh kalium iodat menjadi I2. Adapun HCl berfungsi untuk member suasana asam, karena larutan yang terdiri dari kalium iodat dan KI berada dalam kondisi netral atau keasaman rendah. Setelah penambahan HCl, larutan harus segera dititrasi. Hal ini karena sifat I2 yang mudah menguap. Indikator yang digunakan pada proses ini yaitu indikator amilum. Penambahan amilum dilakukan pada saat menjelang titik akhir titrasi yaitu pada saat larutan berubah warna dari merah bata menjadi kuning pucat. Hal tersebut dikarenakan kompleks iodium-amilum mempunyai kelarutan yang kecil dalam air dan tidak menghambat proses titrasi karena jika ditambahkan pada awal titrasi maka akan membentuk kompleks iodium-amilum. Hal ini juga dilakukan agar amilum tidak membungkus iod karena menyebabkan amilum sukar dititrasi untuk kembali ke senyawa semula. Tercapainya titik akhir titrasi ditunjukkan oleh perubahan warna larutan dari larutan biru menjadi tidak berwarna. Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa normalitas larutan natrium tiosulfat adalah 0,098 N. Adapun reaksi-reaksi yang terjadi yaitu:
I2 + 2 Na2S2O3 2 NaI + Na2S4O6
KI K+ + I-
2 I- I2 + 2e- (Oksidasi)
KIO3 K+ + IO3-
IO3- + 6 H+ + 6 e- I- + 3 H2O (Reduksi)
2 I- I2 + 2e- X 3
IO3- + 6 H+ + 6 e- I- + 3 H2O X 1
6 I- 3 I2 + 6e-
IO3- + 6 H+ + 6 e- I- + 3 H2O
6 I- + IO3- + 6 H+ 3 I2 + I- + 3 H2O
Adapun reaksi lengkapnya yaitu :
5 KI + KIO3 + 6 HCl 3 I2 + 6 KCl + 3 H2O
B. Penentuan Kadar Cu pada Sampel A dan B
Pada percobaan penentuan kadar Cu dalam sampel A dan B, masing-masing sampel ditambahkan larutan KI. Sama seperti pada percobaan sebelumnya, KI pada percobaan ini juga berfungsi untuk membebaskan iod. Selain itu KI juga berfungsi untuk mereduksi ion Cu yang terdapat dalam sampel. Reaksi yang terjadi:
4 Cu2+ + 4 KI 2 CuI + I2 + 4 K+
I2 yang bebas tersebut kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat yang sebelumnya telah distandarisasi. Indikator yang digunakan adala indikator amilum. Proses titrasi dihentikan ketika telah terjadi perubahan warna yaitu dari berwarna biru tua menjadi putih susu. Dari analisis data diperoleh kadar Cu pada sampel A yaitu 2,1731 mg/mL dan pada sampel B sebesar 6,3972 mg/mL.
Pada sampel B terdapat ion Fe (III). Hal tersebut tampak pada perbedaan volume natrium tiosulfat yang digunakan cukup besar, yaitu pada sampel B (bila dirata-ratakan) 25,7 mL sedangkan pada sampel A hanya 8,73 mL. keberadaan ion Fe (III) itu tentunya sangat mengganggu karena dapat mengoksidasi I- menjadi I2 sama seperti ion Cu2+. Reaksinya yaitu
2 Fe3+ + 2 KI 2 Fe 2+ + 2 K + + I2
Oleh karena itu, untuk mencegah interferensi Fe (III) maka sampel B ditambahkan larutan KF sebelum ditambah KI. KF dalam hal ini berfungsi untuk mengubah Fe (III) menjadi kompleks yang lebih stabil, FeF63-.
Fe3+ + 6 KF K3 [ FeF6 ] + 3 K+
Kompleks tersebut akan sulit untuk bereaksi sehingga tidak akan mengoksidasi ion I-. dari hasil analisis data diperoleh kadar Cu setelah interferensi dicegah sebesar 1,8669 mg/mL. Kadar tersebut sangat jauh berbeda dengan kadar Cu pada sampel B yang mendapat interferensi dari ion Fe (III).
IX. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Normalitas Na2S2O3 yang sebenarnya adalah 0,098 N.
2. Kadar Cu dalam sampel A ialah 2,1731 mg/mL
3. Kadar Cu dalam sampel B karena adanya interferensi Fe (III) ialah 6,3972 mg/mL
4. Kadar Cu pada sampel B yang tidak terinterferensi Fe (III) (dicegah dengan KF) yaitu 1,8669 mg/mL.
5. Interferensi Fe (III) dapat dicegah dengan menambahkan KF.
B. Saran
Diharapakan kepada praktikan selanjutnya agar teliti dalam menitrasi serta mengamati perubahan warna yang terjadi ketika menjelang dan saat titik akhir titrasi tercapai.
2 komentar:
Kak bisa saya lihat daftar pustakanha?
Yang kutipannya anonim itu jurnal atau buku?
Posting Komentar