Minggu, 12 Juni 2011

profesionalisme guru


Guru professional adalah guru yg menguasai materi yg diajarkan, mampu mengajarkannya dengan menyenangkan dan memiliki pribadi yang mampu memberi inspirasi kepada muridnya (tauladan).Bagaimana bisa menjadi guru (silat misalnya) jika tidak menguasai ilmu (silat)? Ketika guru tidak menguasai ilmunya dan mengajar, sudah pasti dia berbohong kepada murid-muridnya, setidaknya tidak menyampaikan apa yg harus disampaikan. Dia ibarat program komputer, hanya menyampaikan hoac atau spam, atau bahkan virus.
Ketika mengusai ilmu (silat), dia juga harus mampu mengajarkannya. Jika tidak, si murid hanya akan kelimpungan karena ilmu tadi tidak berhasil dia kuasai. Ibarat dalam instal program, si guru tidak mampu menginstal dengan benar, sehingga hasilnya program-program (baca-mata pelajaran) tidak terinstal dengan proper/benar dan sering konflik, bahkan “hang” Ketika menginstal atau mengajar, si guru juga musti mengerti kemampuan dasar sang murid, atau analogi komputernya adalah tahu kapasitas RAM dan ROM-nya, apakah masih 486 atau sudah Intel Core 2 Duo. Jangan memaksa instal program yang membutuhkan kapasitas besar ketika guru tahu kapasitas muridnya terbatas. Jangan heran, ketika gurunya pas-pasan dan muridnya pas-pasan pula di instal program yg rumit, hasilnya tidak ada. Itu barulah analogi ilmu komputer, manusia lebih rumit lagi.
Guru yg tidak mampu memberi insiprasi adalah guru biasa-biasa saja. Cobalah bayangkan, bagaimana murid akan menghormati seorang guru jika pakaiannya kumuh, wajahnya kusam, rambut acak-acakan dan badannya bau. Sudah demikian, suaranya hanya dia sendiri yang mampu dengar saking pelannya. Dan yang juga parah, ketika menulis di papan tulis, tidak terbaca. Ini barulah penampilan guru yang terlihat dan terdengar. Belum lagi jika guru tersebut sangat pemarah dan seringkali menghukum tanpa alasan yang jelas, bahkan seringkali menceritakan masalah pribadi keluarganya kepada para murid di depan kelas. Masih mending jika sang guru pandai dan menguasai mata pelajaran, lha, kalau dia juga tidak menguasai… kiamatlah sebuah kelas yang memiliki guru seperti itu. Saya sarankan, lebih baik seluruh murid diminta untuk belajar mandiri dan dibimbing dari jauh saja.
Parameter guru frofosional utamanya adalah apakah sang murid menyenangi pelajaran yang diberikan guru tersebut. Jika murid sudah senang, sesulit apapun pelajaran yang diberikan, akan dengan nyaman mereka terima dan mereka cerna serta kuasai. Tetapi kondisi riil saat ini buruk. Dari segi kementrian pendidikan nasional awalTahun 2010, sebelum dilaksanakan sertifikasi, secara umum lebih dari 25% guru Sekolah Dasar tidak layak mengajar, tingkat SMP lebih baik sekitar 18%, sedangkan SLTA sekitar hampir 15%. Inipun hanya diukur dari formalitas ijazah yang mereka miliki yang dalam UU Sisdiknas harus S1. Ketika dites kemampuan secara langsung, setahu saya, gambarannya lebih buruk. sehingga konon, karena kondisi itu, pemerintah dan dewan khawatir sertifikasi melalui tes langsung guru lebih dari 50% tidak lulus, cara portofolio akhirnya diambil, selain biaya tes tersebut jauh lebih murah.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya. Dari berbagai pengalaman dan pendapat beberapa teman pakar yg bergelut dengan guru,, mereka mengatakan guru Indonesia sangat rendah kebanggaannya menjadi guru (extreemly low self esteem). Jadi, bagaimana akan bagus dalam mengajar jika tidak bangga. Teman-teman sering mengejek, seorang guru jika mengenalkan diri selalu tidak pede “saya membantu mengajar di sekolah anu..” dengan suara hampir tidak terdengar “ooo Guru..!” ujar yang bertanya “betul pak… “ mereka menjawab sambil tersenyum malu. Lain sekali jika seorang dokter, insinyur atau akuntan, mereka akan mengenalkan diri dan tempat bekerjanya dengan gagah dan pede. Tapi sekarang sedikit demi sedikit sudah terkikis masalah ini seiring dengan naiknya/ adanya srtifikasi guru.
Ini masalah dalam diri guru, tidak mudah dan butuh waktu yg panjang. Yang paling mudah adalah dengan cara memuliakan mereka kembali. Mengapa memuliakan, karena kita sendiri sudah memberi konotasi yg selalu buruk kepada guru, apakah kalimat “menggurui” itu baik, buruk bukan? Saya selalu protes jika kalimat ini digunakan. Bagaimana tidak, jika gurunya mulia, bukankah digurui itu menjadi bagus? Nah, itu hal yang kecil tapi penting. Cara lain dan lebih mudah adalah memberi imbalan yang lebih layak kepada guru, sehingga pekerjaan mulia ini menarik minat lulusan SMA terbaik dan bermoral baik. Bagaimana mereka akan tertarik jika gaji guru masih banyak yg di bawah upah minimum regional dalam arti disamakan dengan buruh kasar yg bekerja umumnya hanya menggunakan otot, guru bekerja menggunakan otak dan kepribadiannya.ini sekarang telah di galakkan pemerintah
Untuk menjadikan dirinya menjadi profesional, seorang guru harus ditemani, karena perasaan tidak percaya diri itu seringkali menghambat mereka untuk maju. Misalnya, seorang guru yang ingin belajar matematika dan dia tahu ada dosen kimia yang baik di ITB atau UI, sangat sering mereka enggan untuk berkunjung ke perguruan tinggi mapan itu, karena minder. Oleh sebab itu, menemani guru untuk maju diperlukan
Sisi kebijakan, tanggungjawab negara untuk mendorong guru menjadi professional,dibilang maksimal sih belum, tetapi sudah sangat bagus. Cobalah tengok, profesi mana yang demikian dibantu oleh pemerintah, paramedik dan dokter saja yang juga penting tidak sehebat itu, tetapi dalam pelaksanaan masih sangat lemah monitoring dan evaluasinya. Saya salut kementrian pendidikan nasional membentuk tim independen monitoring dan evaluasi sertifikasi guru, namun ternyata tim ini hanya berjalan selama dua tahun, sesudah itu saya tidak tahu nasibnya. Meskipun struktur tim ini masuk dalam Kepmendiknas, tetapi setahu saya tidak ada mata anggaran khusus, sehingga kerja tim menjadi setengah-setengah. Jika ada anggaran cukup, kerja menjadi bagus. Jika tidak, ya, bagaimana akan bagus. Lha, seharusnya semua provinsi ditinjau, ternyata akhirnya hanya provinsi sample saja. Proses pelatihan dan pembinaan adalah serangkaian tahapan proses peningkatan kualitas kompetensi guru haruslah memiliki pola atau model yang lebih efektif. Dengan model ini tidak hanya mampu secara bertahap mengarahkan peserta pelatihan pada fase kemandirian, tetapi yang terpenting adalah mendorong penyempurnaan kualitas pelatihan dan pembinaan itu sendiri ke arah yang lebih baik. Sehingga untuk dapat mencapai hal tersebut keberadaan model ini pula harus mampu merevitalisasi peran dan fungsi sekolah sebagai tempat untuk saling belajar dan tumbuh berkembang

Sertifikasi tentu tidak serta-merta berdampak kepada peningkatan profesionalitas, tetapi sertifikasi itu setidaknya mampu menyaring guru yang paling buruk. Kenapa saya katakan paling buruk, karena sertifikasi portofolio umumnya meluluskan gurunya setelah mengikuti Diklat profesi yang minimal 60 jam itu. Artinya, kurang dari 5% guru yang tidak lulus. Jika kita pake logika linier, artinya sesudah lulus sertifikasi mereka certified teacher, dong, dan profesional dong? Tetapi, faktanya masih tidak. Menurut saya, sulitlah jika sertifikator juga tempat di mana guru itu dididik, kecuali menggunakan metode seperti pendidikan dokter. Mudah-mudahan  tahun ini akan dimulai pendidikan profesi guru yang mencontek pola pendidikan dokter tersebut, tetapi yakinkah  mereka akan menjadi guru profesional jika yang mengajar bukan guru profesional, tetapi profesor-profesor yang lebih menguasai ilmu kependidikan daripada praktek guru? Di pendidikan dokter sarjana medis dididik oleh dokter best practice dan mereka masuk semua bagian dan harus lulus bagian tersebut sebelum dilantik sebagai dokter.
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

Saran saya, terimalah profesi ini sebagai amanah dan yakinlah bahwa menjadi guru itu setingkat dibawah para Nabi. Bagaimana tidak, bukankah fisika itu hukum alam? Dan itu adalah firman Tuhan di alam? Nah, jika para Nabi menyampaikan risalah langsung dari langit, guru menyampaikannya secara tidak langsung. Saya sering katakan kepada para guru “Sekali Anda transaksional dalam mengajar, maksudnya berpikir dibayar berapa ketika mengajar, maka akan hilanglah nur dari ilmu yg Anda sampaikan. Murid akan tetap pandai dan hebat, tetapi jangan berharap barokah dari ilmu yang disampaikan itu…” Nah, jika menjadi penerus para Nabi, mengapa menjadi tidak pede? Lalu bagaimana untuk hidup? Di sinilah pentingnya untuk yakin bahwa, ketika menjadi guru yang benar (baca profesional), rejeki dari-Nya pasti tersedia, kalau Anda tidak yakin, saya sarankan berubah profesi saja, karena pelan tapi pasti akan mengotori profesi yang sangat mulia ini.

Tidak ada komentar: