BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertambahan penduduk yang kian hari semakin pesat, telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan kehidupan manusia. Bertambahnya jumlah penduduk berarti kebutuhan hidup seperti makanan dan minuman juga akan semakin bertambah. Pemukiman akan semakin diperluas, disamping itu limbah yang diproduksi juga akan terus bertambah.
Pada saat yang bersamaan pertambahan jumlah penduduk ini, tidak diimbangi dengan pola hidup yang sehat. Sarana Sanitasi tidak tersedia dilingkungan masyarakat, utamanya yang berada di pedesaan. Masyarakat kemudian hanya berorientasi pada tataran, yang terpenting mereka bisa memperoleh makanan dan minuman, serta melakukan aktivitas sehari-hari. Pola hidup yang kemudian tidak memperhatikan upaya untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan juga upaya dalam menjaga kesehatan diri pribadi. Hal ini menyebabkan tercemarnya sumber-sumber kehidupan utamanya air, yang pada akhirnya menimbulkan berbagai macam penyakit seperti diare, demam berdarah, disentri, kolera, tiphus, malaria, dan sebagainya.
Air yang seharusnya air dijaga sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap cemaran. Namun kenyataannya air selalu dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan. Hampir separuh penduduk dunia, utamanya di negara-negara berkembang, menderita berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan air, atau oleh air yang tercemar. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 2 miliar orang kini menyandang risiko menderita penyakit murus yang disebabkan oleh air dan makanan. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian lebih dari 5 juta anak-anak setiap tahun.
Menurut Departemen Kesehatan, dari 1000 bayi lahir 50 di antaranya meninggal dunia karena diare. Hal ini sering terkait dengan penggunaan air yang tercemar tinja.
Suplai air bersih yang lebih baik diperkirakan mampu mengurangi angka kematian akibat diare sebesar 21%. Sedangkan sanitasi yang lebih baik diperkirakan mampu mengurangi angka kematian akibat diare sebesar 37,5%. Tindakan sederhana seperti mencuci tangan memakai sabun di saat-saat tepat dapat mengurangi angka kejadian diare sampai 35%. Sekalipun demikian, sanitasi tetap menjadi prioritas rendah dengan anggaran yang minim di kota-kota besar.
Setiap tahun jumlah penduduk akan semakin bertambah. Sehingga jika tidak ada perubahan pola hidup di masyarakat, suatu saat masalah sanitasi akan bisa menjadi bom waktu bagi lingkungan yang ada. polusi yang kita lemparkan ke badan air kita lama-kelamaan akan berjumlah sangat besar dan akhirnya menjadi pencemar lingkungan yang sangat berbahaya bagi kesehatan kita. Proses pencemaran akibat sanitasi buruk memang butuh lama untuk bisa terlihat dampaknya sehingga orang tidak sadar akan bahayanya dan cenderung mengabaikannya.
Mencermati hal diatas, maka perlu ada upaya untuk menyadarkan pada masyarakat tentang pentingnya sanitasi. Sehingga salah satu upaya dari hal tersebut adalah penyusunan makalah ini, yang kemudian akan memberikan pengetahuan tentang sanitasi.
B. Rumusan Masalah
1.
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sanitasi
Undang-Undang Kesehatan No.23 tahun 1992 pasal 22 disebutkan bahwa kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, yang dapat dilakukan dengan melalui peningkatan sanitasi lingkungan, baik yang menyangkut tempat maupun terhadap bentuk atau wujud substantifnya yang berupa fisik, kimia, atau biologis termasuk perubahan perilaku (Ain, 2009).
Para ahli banyak memberikan defenisi tentang sanitasi. Diantaranya Dr.Azrul Azwar, MPH, menyatakan bahwa sanitasi adalah cara pengawasan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mungkin mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Disisi lain, Hopkins member pengertian sanitasi adalah cara pengawasan terhadap factor-faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh terhadap lingkungan. Sanitasi merupakan suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia.
Dalam Wikipedia Indonesia, Sanitasi didefenisikan sebagai perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatannya kepada usaha-usaha kesehatan lingkungan hidup manusia.
Sanitasi memiliki hubungan yang sagat erat dengan Hygiene. Kata “hygiene” berasal dari bahasa Yunani yang artinya ilmu untuk membentuk dan menjaga kesehatan (Streeth, J.A. and Southgate,H.A, 1986). Dalam sejarah Yunani, Hygiene berasal dari nama seorang Dewi yaitu Hygea (Dewi pencegah penyakit). Menurut Brownell, hygine adalah bagaimana caranya orang memelihara dan melindungi kesehatan. Adapun Gosh, hygiene adalah suatu ilmu kesehatan yang mencakup seluruh factor yang membantu/mendorong adanya kehidupan yang sehat baik perorangan maupun melalui masyarakat. Hygiene dalam pengertian yang lain adalah sebagai berikut:
1. Ilmu yang mengajarkan cara-cara untuk mempertahankan kesehatan jasmani, rohani dan social untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
2. Suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada.
3. Keadaan dimana seseorang, makanan, tempat kerja atau peralatan aman (sehat) dan bebas pencemaran yang diakibatkan oleh bakteri, serangga, atau binatang lainnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup kegiatan sanitasi di hotel meliputi aspek sebagai berikut:
1. Penyediaan air bersih/ air minum (water supply)
Meliputi hal-hal sebagai berikut: Pengawasan terhadap kualitas dan kuantitas, Pemanfaatan air, Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air Cara pengolahan, Cara pemeliharaan.
2. Pengolahan sampah (refuse disposal)
Meliputi hal-hal berikut : Cara/system pembuangan, Peralatan pembuangan dan cara penggunaannya serta cara pemeliharaannya
3. Pengolahan makanan dan minuman (food sanitation)
Meliputi hal-hal sebagai berikut: pengadaan bahan makanan/bahan baku, Penyimpanan bahan makanan/bahan baku, Pengolahan makanan, Pengangkutan makanan, Penyimpanan makanan, Penyajian makanan
4. Pengawasan/pengendalian serangga dan binatang pengerat (insect and rodent control)
Meliputi cara pengendalian vector
5.Kesehatan dan keselamatan kerja
Meliputi hal-hal sebagai berikut:Tempat/ruang kerja,Pekerjaan. Cara kerja. Tenaga kerja/pekerja
B. Pentingnya Sanitasi
C. Upaya Pelaksanaan Sanitasi Lingkungan
1. Sanitasi Air
.
Sistem Pembuangan
Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari
rumah tangga, industri maupun tempat-tempat umum lainya, dan pada umumnyamengandung bahan-bahan atau zat-zat yang dapatmembahayakan bagi kesehatan manusia serta mengganggu lingkungan hidup. Batasan lain mengatakan bahwa air limbah adalah kombinasi dari cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah pemukiman, perdagangan, perkantoran dan industri, bersama-sama denganair tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin ada (Haryoto Kusnoputranto,1985).
Dari batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa air buangan adalah air yang tersisa dari kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan
lain seperti industri, perhotelan, dan sebagainya. Meskipun merupakan air sisa,namun volumenya besar, karena lebih kurang 80% dari air yang digunakan bagi kegiatan-kegiatan manusia sehari-hari tersebut dibuang lagi dalam bentukyang sudah kotor (tercemar). Selanjutnya air limbah ini akhirnya akan mengalir kesungai dan laut dan akan digunakan oleh manusia lagi. Oleh sebab itu, air buangan ini harus dikelola atau diolah secara baik.
Air limbah ini berasal dari berbagai sumber, secara garis besar dapat
dikelompokan sebagai berikut :
1. Air buangan yang bersumber dari rumah tangga (domestic wastes water),
yaitu air limbah yang berasal dari pemukiman penduduk. Pada umumnya air limbah ini terdiri dari ekskreta (tinja dan air seni), air bekas cucian dapur dan kamar mandi, dan umumnya terdiri dari bahan-bahan organic.
2. Air buangan industri (industrial wastes water), yang berasal dari berbagai
jenis industri akibat proses produksi. Zat-zat yang tergantung di dalamnya
sangat bervariasi sesuai dengan bahan baku yang dipakai oleh masing-masing industri, antara lain : nitrogen, logam berat, zat pelarut dan sebagainya. Oleh sebab itu pengolahan jenis air limbah ini, agar tidak menimbulkan polusi lingkungan memnjadi rumit.
3. Air buangan kotapraja (municipal wastes water), yaitu air buangan yang berasal dari daerah : perkantoran, perdagangan, hotel, restoran, tempat-tempat ibadah, dan sebagainya. Pada umumnya zat-zat yang terkandung dalam jenis air limbah ini sama dengan air limbah rumah tangga.
Karakteristik air limbah perlu dikenal, karena hal ini akan menentukancara pengolahan yang tepat, sehingga tidak mencemari lingkungan hidup. Secaragaris besar karakteristik air limbah ini digolongkan menjadi sebagai berikut:
1. Karakteristik fisik
Sebagian besar terdiri dari air dan sebagian kecil terdiri dari bahan-bahan pada dan suspensi. Terutama air limbah rumah tangga, biasanyaberwarna suram seperti larutan sabun, sedikit berbau. Kadang-kadang mengandung sisa-sisa kertas, berwarna bekas cucian beras dan sayur, bagian-bagian tinja, dan sebagainya.
2. Karakter kimiawi
Biasanya air buangan ini mengandung campuran zat-zat kimia anorganik yang berasal dari air bersih serta bermacam-macam zat organik berasal dari penguraian tinja, urine dan sampah-sampah lainya. Oleh sebab itu, pada umumnya bersifat basah pada waktu masih baru, dan cenderung ke asam apabila sudah memulai membusuk. Substansi organic dalam air buangan terdiri dari dua gabungan, yakni :
a. Gabungan yang mengandung nitrogen, misalnya: urea, protein, amine, dan asam amino.
b. Gabungan yang tak mengandung nitrogen, misalnya: lemak, sabun, dan karbohidrat, termasuk selulosa.
3. Karakteristik bakteriologis
Kandungan bakteri pathogen serta organisme golongan coli terdapat juga dalam air limbah tergantung darimana sumbernya, namun keduanya tidak berperan dalam proses pengolahan air buangan.
.
Beberapa cara sederhana pengolahan air buangan antara lain sebagai
berikut :
1. Pengeceran (dilution)
Air limbah diencerkan sampai mencapai konsentrasi yang cukup rendah, kemudian baru dibuang ke badan-badan air. Tetapi, dengan makin bertambahnya penduduk, yang berarti makin meningkatnya kegiatan manusia, maka jumlah air limbah yang harus dibuang terlalu banyak, dan diperluka air pengenceran terlalu banyakn pula, maka cara ini tidak dapat dipertahankan lagi. Disamping itu, cara ini menimbulkan kerugian lain, diantaranya : bahaya kontaminasi terhadap badan-badan air masih tetap ada, pengendapan yang akhirnya menimbulkan pendangkalan terhadap badan-badan air, seperti selokan, sungai, danau, dan sebagainya. Selanjutnnya dapat menimbulkan banjir.
2. Kolam Oksidasi (Oxidation ponds)
Pada prinsipnya cara pengolahan ini adalah pemanfaatan sinar matahari, ganggang (algae), bakteri dan oksigen dalam proses pembersihan alamiah. Air limbah dialirkan kedalam kolam berbentuk segi empat dengan kedalaman antara 1-2 meter. Dinding dan dasar kolam tidak perlu diberi lapisan apapun. Lokasi kolam harus jauh dari daerah pemukiman, dan didaerah yang terbuka, sehingga memungkinkan memungkinkan sirkulasi angin dengan baik.
3. Irigasi
Air limbah dialirkan ke parit-parit terbuka yang digali, dan air akan merembes masuk kedalam tanah melalui dasar dan dindindg parit tersebut. Dalam keadaan tertentu air buangan dapat digunakan untuk pengairan ladang pertanian atau perkebunan dan sekaligus berfungsi untuk pemupukan. Hal ini terutama dapat dilakukan untuk air limbah dari rumah tangga, perusahaan susu sapi, rumah potong hewan, dan lain-lainya dimana kandungan zat-zat organik dan protein cukup tinggi yang diperlukan oleh tanam-tanaman.
2. Sanitasi Makanan
Dalam upaya menciptakan kondisi sanitasi yang baik pada pengolahan makanan diperlukan beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk mencapai tujua tersebut. Dua jenis bahan utama yang sering digunakan adalah bahan pembersih. Sistem pembersihan, bahan sanitaiser, sanitasi peralatan dan sanitasi ruang.
A. Bahan Pembersih
Proses pembersihan dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa makanan, sumber zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu proses pembersihan juga dapat menghilangkan sebagian besar populasi mkroorganisme, melalui kerja fisik dari pencucian dan pembilasan (Jenie, 1996). Oleh karena itu proses pembersihan harus dilakukan sedemikian rupa agar efektif dalam mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan proses pembersihan adalah sifat permukaan yang kontak dengan sisa makanan. Permukaan benda yang tidak dapat ditembus, misalnya baja tahan karat (stainless steel) akan lebih mudah dibersihkan dari pada permukaan benda berpori-pori, misalnya kayu. Faktor lain yang berpengaruh terhadap proses dan prosedur pembersihan adalah jenis sisa makanan yang harus dibersihkan. Sisa makanan yang banyak mengandung lemak dapat dibersihkan dengan bantuan air panas dan sabun, atau dengan menggunakan bahan pelarut lemak, misalnya alkohol dengan kadar 70%. Bahan berprotein dapat dibersihkan melalui proses peptidasi menggunakan bahan pengoksidasi seperti klorin. Pemahaman mengenai kesesuaian antara bahan pembersih dengan materi yang akan dibersihkan akan sangat membantu upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pembersihan. Bahan pembersih yang sering digunakan dalam proses pembersiahn antara lain pembersih alkali, pembersih asam, sabun, dan deterjen.
B. istem Pembersih
B. istem Pembersih
Pada dasarnya sistem pembersihan meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
1. Penghilangan cemaran atau kotoran kasar
1. Penghilangan cemaran atau kotoran kasar
2. Pembersihan residu cemaran dengan deterjen atau bahan pembersih lainnya
3. Pembilasan untuk menghilangkan cemaran dan deterjen.
3. Pembilasan untuk menghilangkan cemaran dan deterjen.
Sistem pembersihan yang dipilih disesuaikan dengan kebutuhan, dan pada prakteknya jenis-jenis pembersihan yang umum dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Pembersihan Manual
Pembersihan secara manual dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu seperti bahan penggosok mekanik, selang air, sikat, alat penggaruk, spons, atau alat penggosok lainnya. Pembersihan dengan metode ini umumnya diterapkan untuk membersihkan peralatan kecil, wadah-wadah makanan, atau bagian-bagian kecil dari suatu peralatan seperti blender, chopper, mixer dan lain-lain.
2. Pembersihan dengan Busa
Sistem pembersihan dengan busa merupakan metode pembersihan secara mekanik yang paling banyak dipilih, karena aplikasi busa yang mudah dan cepat. Metode ini cocok diterapkan pada pembersihan ruangan maupun peralatan pengolahan berukuran besar. Cara kerja metode ini adalah dengan menyebarkan busa deterjen yang akan menempel pada permukaan benda yang dibersihkan. Busa mudah terlihat, sehingga kemungkinan duplikasi pekerjaan akan dapat dihindari. Aplikasi ini cukup karena 1 bagian cairan pembersih akan menghasilkan 10 bagian busa. Kontak antara busa dengan permukaan yang akan dibersihkan tergantung pada berat ringannya cemaran, tetapi biasanya antara 10 – 20 menit. Pembersihan dengan busa efektif diterapkan untuk memberihkan permukaan yang luas (Jenie, 1996).
3. Pembersihan Ultrasonik
Pembersihan ultrasonik memerlukan investasi yang lebih mahal daripada metode pembersihan lainnya. Kelebihan metode ini yaitu sangat cocok untuk diterapkan pada peralatan-peralatan kecil, bagian kecil dari suatu peralatan, atau benda-benda plastik yang sulit dibersihkan, atau yang akan rusak jika dibersihkan dengan metode konvensional.
Proses pembersihan dilakukan dengan merendam benda pada tangki berisi larutan deterjen bersuhu 60 – 70oC. Generator ultrasonik akan mengubah listrik pusat menjadi energi listrik dengan frekuensi tinggi(30.000 – 40.000 siklus/detik), kemudian peralatan transduser akan mengubah energi ultrasonik menjadi vibrasi mekanik (Jenie, 1996). Vibrasi tersebut akan menghasilkan jutaan gelembung-gelembung vakum mikroskopis dalam larutan deterjen yang akan berperan dalam pembersihan.
Proses pembersihan dilakukan dengan merendam benda pada tangki berisi larutan deterjen bersuhu 60 – 70oC. Generator ultrasonik akan mengubah listrik pusat menjadi energi listrik dengan frekuensi tinggi(30.000 – 40.000 siklus/detik), kemudian peralatan transduser akan mengubah energi ultrasonik menjadi vibrasi mekanik (Jenie, 1996). Vibrasi tersebut akan menghasilkan jutaan gelembung-gelembung vakum mikroskopis dalam larutan deterjen yang akan berperan dalam pembersihan.
4. Bahan Sanitaiser
Meskipun proses pembersihan telah dilakukan, belum ada jaminan bahwa cemaran mikrobiologis, terutama bakteri patogen telah dapat dihilangkan. Oleh karena itu proses pembersihan pada umumnya harus diikuti dengan desinfeksi menggunakan bahan sanitaiser. Tujuan utama desinfeksi adalah untuk mereduksi jumlah mkroorganisme patogen dan perusak dalam pnegolahan makanan, serta pada fasilitas dan perlengkapan persiapan serta pengolahan (Jenie, 1996). Pemilihan bahan sanitaiser yang akan digunakan biasanya ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut.
1. Metode sanitasi yang dipilih (apakah manual atau mekanis)
2. Sifat atau tipe bahan yang akan disanitasi
3. Karakter spesifik bahan sanitaiser yang diinginkan
4. Secara garis besar bahan sanitaiser dibedakan menjadi 2, yaitu sanitaiser non kimiawi dan sanitaiser kimiawi.
1. Sanitaiser Non Kimiawi
Sanitaiser non kimiawi dapat mematikan mikroorganisme melalui aktivitas fisik dari energi yang dimilikinya. Beberapa contoh sanitaiser non kimiawi adalah antara lain uap, air panas, dan radiasi.
a. Uap
Penggunaan uap air panas untuk tujuan sanitasi dapat dilakukan dengan menggunakan uap air mengalir bersuhu 76,7oC selama 15 menit, atau 93,3oC selama 5 menit. Jenie (1996) menyatakan bahwa metode sanitasi dengan uap tidak efektif dan relatif mahal. Penggunaan uap pada permukaan benda yang tercemar berat dapat menyebabkan terbentuknya gumpulan keras dari sisa bahan organik. Gumpalan ini justru dapat mengurangi daya sanitasi uap karena menghambat penetrasi panas yang dapat mematikan mikroorganisme.
b. Air Panas
Upaya sanitasi dengan metode ini dapat dilakukan dengan merendam benda-benda dalam air panas bersuhu 80oC atau lebih. Energi panas diperkirakan menyebabkan denaturasi protein dalam sel mikroorganisme yang akan menyebabkan kematiannya. Metode ini cukup efektif dan dapat diterapkan pada hampir semua jenis permukaan yang bersentuhan dengan makanan. Meskipun demikian, cara ini juga memiliki kelemahan karena tidak dapat mematikan spora bakteri yang tahan panas. Spora bakteri biasanya tetap hidup meskipun berada pada suhu air mendidih selama 1 jam.
Suhu air panas yang digunakan sangat menentukan waktu kontak yang harus dipenuhi untuk menjamin efektivitas metode sanitasi ini. Pada prinsipnya semakin tinggi suhu air panas yang digunakan, waktu kontak yang diperlukan semakin pendek. Air panas bersuhu 80oC misalnya, memerlukan waktu selama kontak 20 menit, dan air yang bersuhu 85oC hanya memerlukan waktu kontak 15 menit. Metode ini banyak dipilih untuk sanitasi peralatan plat penukar panas (heat exchanger plate) pada pabrik pengolah makanan, terutama susu, serta untuk sanitasi peralatan makanan pada usaha pelayanan jasa boga (foodservice). Salah satu alasannya adalah karena air mudah didapat dan tidak beracun.
Permasalahan mungkin akan timbul apabila air yang digunakan merupakan jenis air sadah. Kesadahan air yang lebih tinggi dari 60 mg/1 dapat menimbulkan karat pada permukaan alat yang disanitasi. Oleh karena itu, apabila metode ini dipilih dalam proses sanitasi, harus dipastikan bahwa air yang digunakan dari jenis lunak.
c. Sanitasi Radiasi
Radiasi sinar pada panjang gelombang 2500 A dari sinar ultraviolet, sinar gamma, atau dari katode energi tinggi dapat digunakan untuk mematikan mikroorganisme. Radiasi sinar ultraviolet terutama telah banyak diaplikasikan di rumah sakit – rumah sakit. Tetapi menurut Jenie (1996) metode ini memiliki kelemahan bila diterapkan pada industri pengolah makanan atau pada institusi jasa boga, terutaman dalam hal total efektivitasnya, karena kisaran mematikan mikroorganisme yang efektif sangat pendek. Radiasi sinar hanya dapat mematikan mikroorganisme yang terkena langsung, dengan waktu kontak selama 2 menit.
1. Metode sanitasi yang dipilih (apakah manual atau mekanis)
2. Sifat atau tipe bahan yang akan disanitasi
3. Karakter spesifik bahan sanitaiser yang diinginkan
4. Secara garis besar bahan sanitaiser dibedakan menjadi 2, yaitu sanitaiser non kimiawi dan sanitaiser kimiawi.
1. Sanitaiser Non Kimiawi
Sanitaiser non kimiawi dapat mematikan mikroorganisme melalui aktivitas fisik dari energi yang dimilikinya. Beberapa contoh sanitaiser non kimiawi adalah antara lain uap, air panas, dan radiasi.
a. Uap
Penggunaan uap air panas untuk tujuan sanitasi dapat dilakukan dengan menggunakan uap air mengalir bersuhu 76,7oC selama 15 menit, atau 93,3oC selama 5 menit. Jenie (1996) menyatakan bahwa metode sanitasi dengan uap tidak efektif dan relatif mahal. Penggunaan uap pada permukaan benda yang tercemar berat dapat menyebabkan terbentuknya gumpulan keras dari sisa bahan organik. Gumpalan ini justru dapat mengurangi daya sanitasi uap karena menghambat penetrasi panas yang dapat mematikan mikroorganisme.
b. Air Panas
Upaya sanitasi dengan metode ini dapat dilakukan dengan merendam benda-benda dalam air panas bersuhu 80oC atau lebih. Energi panas diperkirakan menyebabkan denaturasi protein dalam sel mikroorganisme yang akan menyebabkan kematiannya. Metode ini cukup efektif dan dapat diterapkan pada hampir semua jenis permukaan yang bersentuhan dengan makanan. Meskipun demikian, cara ini juga memiliki kelemahan karena tidak dapat mematikan spora bakteri yang tahan panas. Spora bakteri biasanya tetap hidup meskipun berada pada suhu air mendidih selama 1 jam.
Suhu air panas yang digunakan sangat menentukan waktu kontak yang harus dipenuhi untuk menjamin efektivitas metode sanitasi ini. Pada prinsipnya semakin tinggi suhu air panas yang digunakan, waktu kontak yang diperlukan semakin pendek. Air panas bersuhu 80oC misalnya, memerlukan waktu selama kontak 20 menit, dan air yang bersuhu 85oC hanya memerlukan waktu kontak 15 menit. Metode ini banyak dipilih untuk sanitasi peralatan plat penukar panas (heat exchanger plate) pada pabrik pengolah makanan, terutama susu, serta untuk sanitasi peralatan makanan pada usaha pelayanan jasa boga (foodservice). Salah satu alasannya adalah karena air mudah didapat dan tidak beracun.
Permasalahan mungkin akan timbul apabila air yang digunakan merupakan jenis air sadah. Kesadahan air yang lebih tinggi dari 60 mg/1 dapat menimbulkan karat pada permukaan alat yang disanitasi. Oleh karena itu, apabila metode ini dipilih dalam proses sanitasi, harus dipastikan bahwa air yang digunakan dari jenis lunak.
c. Sanitasi Radiasi
Radiasi sinar pada panjang gelombang 2500 A dari sinar ultraviolet, sinar gamma, atau dari katode energi tinggi dapat digunakan untuk mematikan mikroorganisme. Radiasi sinar ultraviolet terutama telah banyak diaplikasikan di rumah sakit – rumah sakit. Tetapi menurut Jenie (1996) metode ini memiliki kelemahan bila diterapkan pada industri pengolah makanan atau pada institusi jasa boga, terutaman dalam hal total efektivitasnya, karena kisaran mematikan mikroorganisme yang efektif sangat pendek. Radiasi sinar hanya dapat mematikan mikroorganisme yang terkena langsung, dengan waktu kontak selama 2 menit.
2. Sanitaiser Kimia
Sanitaiser kimia (sering juga disebut sebagai desinfektan) adalah senyawa kimia yang memiliki kemampuan untuk membunuh mikroorganisme. Banyak jenis sanitaiser kimia tersedia untuk diaplikasikna pada pengolahan dan pelayanan makanan. Desinfektan tidak memiliki daya penetrasi, dengan demikian, tidak mampu mematikan mikroorganisme yang terdapat dalam celah, lubang, atau dalam cemaran mineral.
Menurut Jenie (1996) banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan deinfektan, karena berpengaruh terhadap efektivitas. Faktor tersebut antara lain waktu kontak, suhu, konsentrasi, pH, kebersihan alat, dan ada selang waktu 1 menit antara desinfeksi dengan penggunaan alat. Suhu yang disarankan untuk proses desinfeksi berkisar antara 21,1 – 37,8 derajat C.
Cichy (1984) mengemukakan 4 macam desinfektan yang lazim digunakan dalam proses pengolahan pangan, yagn dibedakan menurut komponen utama yang dikandungnya, yaitu sebagai berikut:
a. desinfektan berbahan dasar klorin,
b. desinfektan berbahan dasar iodin,
c. senyawa amonium kuartener (Quarts), dan
d. surfaktan anionik asam.
a. desinfektan berbahan dasar klorin,
b. desinfektan berbahan dasar iodin,
c. senyawa amonium kuartener (Quarts), dan
d. surfaktan anionik asam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar